RSS

Aku Bangga Menjadi Seorang Wanita

14 Jun

Dua hari yang lalu seorang teman menawarkan sebuah buku, yang sebelumnya sering tergeletak di sekitarku, dengan sebentuk kalimat yang cukup membuatku penasaran dengan isi buku itu, ”Ga, coba baca buku ini. Aku mau tau komentar kamu, karena beberapa orang yang sudah baca buku ini menjadi ”ilfeel” sama laki-laki”. Hm, semoga aja sebuah bacaan yang ringan, yang tidak membutuhkan lots of energy, karena lebih baik istirahat dari segala macam kepenatan untuk beberapa hari ini.

 …kutipan 1…
Saat cinta berpaling
Dan hati menjelma serpihan-serpihan kecil
Saat prahara terjadi
Saat ujian demi ujian-Nya terasa terlalu besar untuk ditanggung sendiri
Kemanakah seorang istri harus mencari kekuatan
Agar hati mampu terus betasbih?
(Asma Nadia)

”Catatan Hati Seorang Istri” judul buku itu, ditulis oleh Asma Nadia. Setengah buku itu aku baca dengan cepat, dan sempat terpotong sampai hari berikutnya. Kemudian, aku memberikan komentar sementara atas dampak dari buku itu, ”Hmm…buku yang menarik, makin meyakinkan ku bahwa untuk saat ini membayangkan rencanaku untuk menjadi a happy single women adalah rencana yang lebih pasti, dan lebih menyenangkan, daripada membayangkan kapan dan dengan siapa aku akan menjalani hari-hariku kelak. Aku tidak perlu memusingkan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain”. Dan komentarku hanya disambut dengan tawa oleh teman-temanku. Mungkin mereka mengganggap komentarku lebih baik, karena tidak unsur dendam kepada lawan jenisku. Atau mungkin mereka menganggap, ”Wah, aneh juga nih orang!!”. Hah, terserahlah. ..Toh, setiap kita dapat mengeluarkan pendapat secara bebas, asalkan tetap bertanggungjawab.

 

Back to this book…

Actually, kalau mau berpikir secara rasional dan logis, dan mau melepaskan semua unsur perasaan dan emosi, buku ini bisa banget kasih pelajaran berharga untuk kedua gender. Ya, walaupun keseluruhan isi buku ini adalah kisah-kisah tentang wanita yang berperan sebagai seorang istri dan seorang ibu, tetapi pastinya ada unsur seorang suami dan seorang bapak yang membuat kisah-kisah tersebut menjadi lengkap dan penuh makna. Dan hikmah hanya akan dapat ditemukan dan diresapi jika kita mau melepaskan ego kita, sejenak saja.

“Catatan Hati Seorang Istri”, sesuai dengan judul bukunya, isi dari setiap kisah di dalamnya berasal dari sebongkah hati yang dimiliki oleh seorang istri, ungkapan paling jujur yang teramat jarang terucapkan dengan lugas, yang lebih sering hanya terpendam dalam hati. Dan buku ini, membantu kita untuk mengetahui, apa yang dirasa oleh seorang istri (seorang wanita) ketika untaian kisah dengan ragam bentuknya mengisi hari-hari mereka dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Dan sekali lagi, buku ini adalah catatan dari hati, maka bacalah dengan hati, tidak dengan emosi.

Beberapa topik yang menjadi dasar dari kisah-kisah dalam buku ini antara lain tentang poligami, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), perselingkuhan dan kejenuhan, dan keikhlasan dalam hidup berumahtangga. Hmm…dilihat dari judulnya, sentimen gender banget ya? Ga juga kok, coba aja baca sambil pindah-pindah tempat duduk, pasti bisa melihat dari banyak persepsi kan? (hehehe…)

Poligami…wuiiihh, topik yang selalu hangat tapi bisa mentah seketika, jika ada yang langsung mengeluarkan statement ”Ya memang, wanita tuh mana ada sih yang mau di-dua-in?”, atau ”Laki-laki tuh ya…Kalau dikasih opsi untuk poligami pasti deh langsung sepakat”, atau ”Melihat poligami itu tergantung dari tingkat ilmu, kepahaman, keikhlasan.. .bla…bla. ..”. Kenapa aku bilang bisa mentah seketika? Ya, karena topik poligami akan berlanjut ke pembahasan ke tingkat emosional yang mementingkan ego masing-masing, dan tidak berlanjut ke bagaimana cara kita agar dapat saling ber-empati, dan ketika poligami jadi salah satu jawaban, maka solusi itu dapat dijalankan dengan bijak dan penuh keikhlasan.

Dalam buku ini, jelas sekali, Asma Nadia berusaha untuk menjadi wakil dari mayoritas istri-istri di Indonesia (beliau menyebutnya dengan wanita indonesia, seperti nama tabloid aj). Tidak perlu malu mengakui bahwa kebanyakan wanita tidak ada yang sanggup jika diajak untuk poligami. Hal yang wajar, bukan? Secara teori, secara ilmu, dan secara syari’at, wanita-wanita yang sudah paham tidak akan mendebat hukum poligami. Mereka semua menerimanya. Tetapi, memang, belum tentu semuanya mau mempraktekan apa yang sudah mereka pahami tentang poligami.

 

Well, kita stop penjelasan tentang poligami…semua pasti sudah pada paham pro kontra untuk subject ini, kan?? (hayoo…jujur. ..)

Yang menarik untuk dilihat dari buku ini tentang poligami adalah bagaimana ungkapan hati seorang istri jika sang suami meminta ijin untuk berpoligami. Pahami alasan-alasan mereka, cerna dengan baik. Kemudian, sandingkan dengan tujuan (niat) sang suami ketika meminta poligami. Berusahalah untuk fair dan bijak, apakah timbangan itu sudah cukup adil? Atau masih berat sebelah, karena terlalu mementingkan ”niat” sang suami, dan melupakan hak sang istri? Ataukah sebaliknya? Sekali lagi, cobalah dicerna dan diresapi dengan jujur. Setelah itu, barulah dibuat sebuah keputusan besar, apapun itu, dengan keikhlasan apa adanya dari kedua belah pihak.

 …kutipan 2…
Telah kutinggalkan cemburu
Di sudut kamar gelap
Telah kuhanyutkan duka
Pada sungai kecil yang mengalir dari mataku
Telah kukabarkan lewat angin gerimis
Tentang segala catatan hati
Yang terhampar di tiap jengkal sajadah
Dalam tahajud dan sujud panjangku
(Asma Nadia)

Sorotan yang kedua, KDRT. Berita-berita di tv tentang KDRT terbilang cukup sering akhir-akhir ini. Dan dituangkan juga dalam buku Asma Nadia, dalam bentuk alur kisah, bukan laporan dari wartawan berita kriminal. KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik, tetapi bisa juga secara psikis. Jika keadaan di rumahtangga sudah melahirkan rasa ketidak-amanan, ketidak-tenangan, yang berakibat pada gangguan kejiwaan pada anggota dalam rumahtangga, maka sudah dapat disebut KDRT.

Dalam topik KDRT yang selalu menjadi korban adalah wanita. Entahlah, apakah karena kelemahannya? Ketidakberdayaannya ? Ketergantungannya pada suami? Ataukah ketaatan (yang tidak pada tempatnya)? Could be all of them.

Topik yang ketiga adalah perselingkuhan dan kejenuhan. Kisah-kisah tentang perselingkuhan dalam buku ini dilakoni oleh suami-suami dari beragam level pemahaman agama. Mungkin, penulis ingin menyampaikan, siapa saja (selama berstatus sebagai manusia) tetap memiliki kemungkinan yang sama akan beragam kesalahan dan kekhilafan. Can not speak or have any comments when i read those stories, hanya satu pertanyaan sederhana, ”Dimanakah (eksistensi) sang istri saat sang suami tega melakukan itu semua?”. Sedemikian mudah kah sang istri tergantikan ketika datang godaan-godaan dari beragam penjuru? Hmm, semakin blur harapanku pada sesosok manusia yang disebut lelaki/pria/ ikhwan/man/ gentleman/ apapun sebutan untuk sang kepala rumahtangga, sang imam, sang nakhoda, sang kapten, sang pahlawan.

Kejenuhan dapat menjadi titik mula perselingkuhan terjadi. Dan kejenuhan ini berawal dari kurangnya rasa syukur atas yang telah dimiliki. Wajar memang, karena ada kalanya ritme dalam sebuah hubungan mengalami kejenuhan. Tetapi, jika kemudian kejenuhan dijadikan alasan untuk memulai perselingkuhan? Sangatlah tidak bertanggungjawab! !

Hal menarik yang dapat disoroti dari topik ini adalah 1) bagaimana alur perselingkuhan dapat terjadi, dimulai dari hal-hal yang sederhana, tidak disengaja, hingga umpan dan respon yang saling bertemu, dan 2) bagaimana para istri menyikapi benturan (dalam bentuk perselingkuhan sang suami) yang terjadi dalam rumahtangga mereka.

 …kutipan 3…
Jika kau kira
Dengan sebelah sayap
Aku akan terkoyak
Maka camkanlah
Dengan sebelah sayap itu
Akan ku jelajah gunung
Ombak-ombak samudera
Dan gemintang di angkasa
(Asma Nadia)

Dan terakhir, tentang keikhlasan dalam rumahtangga. Sungguh, dari dulu, percaya banget kalau ujian keikhlasan sangatlah berat. Dan ketika mengetahui semakin beragamnya ujian keikhlasan dalam rumahtangga, sungguh, semakin sering kalimat tasbih mengalir dari lisan ini. Kuatkanlah ya, Rabb. Dari awal hingga akhir pernikahan, selalu keikhlasan yang sering diuji oleh Allah. Ikhlas menerima teman seperjalanan, ikhlas memberikan kemudi kapal kepada orang lain (karena suami kita awalnya adalah orang lain untuk kita), ikhlas menerima semua kekurangan yang dimiliki, ikhlas menerima amanah untuk menjaga kelebihan-kelebihan yang dimiliki, ikhlas untuk mengarungi semua nikmat-nikmat yang Allah berikan dengan beragam bentuk, hingga ikhlas untuk melepaskan suami ketika saatnya tiba (entah karena berpisah, entah karena memenuhi panggilan-Nya) .

Ada benang merah yang dapat menghubungkan untaian peristiwa yang dialami oleh istri-istri dalam kisah-kisah tersebut. Wanita, memang makhluk Allah yang diciptakan dengan berbagai kekurangan (lemah, perasa, emosional, ketergantungan, dll…silahkan ditambahkan) . Dengan kekurangan mereka itulah, maka wanita disandingkan dengan laki-laki, agar saling melengkapi. Dengan kekurang mereka itulah, maka wanita dapat memberikan kekuatan kepada laki-laki. Dan dengan kekurangan mereka itulah, maka wanita dapat melakukan banyak hal yang sering luput dari lelaki. Haruskah kami (para wanita) menyesali kekurangan kami itu? Tidak, absolutely not

.

Kekurangan kami sebagai seorang wanita seiring dengan lahirnya anak-anak, dan rangkaian kisah yang membersamai langkah kami dalam meniti anak tangga menuju syurga-Nya, akan berubah menjadi kekuatan yang luar biasa besar, tentu saja atas ijin-Nya.

Maka kelemahan seorang wanita hari ini janganlah dipandang remeh dan dimanfaatkan untuk hal yang negatif. Karena kelemahan hari ini adalah sumber kekuatan untuk hari esok, yaitu ketika orang yang kuat tidak lagi ada di sisi, atau ketika orang yang kuat membutuhkan si ”lemah” untuk menopang ”kekuatannya”.

Maka sifat perasa/sensitif seorang wanita hari ini janganlah dijadikan cemoohan/guyonan/ sindiran. Karena dengan sifat ini, seorang wanita dapat merasakan ketidak-seimbangan yang terjadi dalam rumahtangganya, dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya. Karena dengan sifat ini, seorang wanita tahu kapan harus menjadi kuat dan siap melanjutkan kehidupannya dengan atau tanpa sang orang kuat.

Maka sikap seorang wanita yang cenderung emosional (daripada rasional) hari ini, janganlah dijadikan stempel yang selalu dilekatkan pada wanita bahwa wanita hanya bisa menangis, hanya mementingkan perasaan daripada logika. Karena sikap emosional saat ini dapat bermetamorfosis menjadi sebuah titik tolak untuk melakukan hal-hal besar, membuat keputusan mendasar dalam rumahtangganya kelak. Karena genangan dan aliran air mata hanyalah sesaat, hanya untuk membendung kekuatan dan energi untuk menghadapi kelanjutan hidupnya.

Maka sikap ketergantungan seorang wanita kepada seorang lelaki hari ini, nikmatilah. Karena, sesungguhnya, sikap tersebut bukanlah untuk sang wanita saja, tetapi juga untuk anak-anak mereka dan tentunya sang lelaki. Jika hanya memikirkan dirinya, maka seorang wanita mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Tetapi itu bukan pilihan yang ingin dipilih oleh para wanita.

Setiap wanita pasti ingin menuliskan kisahnya dalam alur yang bahagia, menyenangkan, penuh dengan keindahan. Tapi itu pasti tidak mungkin. Selalu ada nikmat Allah berupa kesedihan dalam perjalanan hidup. Hanya saja, bagaimana seorang wanita mampu menghadapinya dengan tabah dan ikhlas, akan membuat alur kisahnya kembali bahagia.

Dan setiap lelaki pasti ingin memberikan kebahagiaan kepada istrinya sepanjang usianya. Sangat mungkin diwujudkan, hanya saja tidak semulus yang dibayangkan. Selalu ada kerikil-kerikil yang menghambat niat mulia itu. Tetapi, bagaimana seorang lelaki mampu mengingat niat awalnya, dan kembali meniti langkahnya bersama sang istri akan menjadikan kebahagiaan yang sangat mahal harganya.

Maka, pernyataan seorang teman tentang tidak ada yang konstan dalam ilmu mempelajari manusia adalah benar. Saat ini penuh perhatian dan penyayang, bukan berarti selamanya akan selalu penuh perhatian dan penyayang. Dan saat ini kejam dan tidak berperasaan, belum tentu selamanya kejam dan tidak berperasaan. Karena memang yang benar adalah ”people changed”. Manusia boleh selalu berubah-ubah, hanya saja bagaimana manusia mengerahkan kemampuannya untuk segera kembali ketika dia berubah ke arah yang salah, agar tidak membuat luka yang terlalu dalam untuk manusia-manusia lain di sekitarnya.

Hmm…sebaiknya buku ini dibaca langsung oleh siapa saja.

Buat para wanita…bacalah. Bukan untuk menakut-nakuti atau membuat gamang, tetapi untuk memberikan sederet kesiapan mental bahwa ada kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi dalam kisah itu ke kehidupan kita. Bukan untuk menjadikan paranoia baru, tetapi untuk memberikan setitik air jernih, ketika telaga hati tidak sebening biasanya. Bukan untuk menumbuhkan benih-benih kebencian kepada lelaki, tetapi untuk menyadarkan bahwa lelaki yang akan menjadi teman sejati kamu adalah seorang manusia yang tidak dapat menghindar dari kesalahan dan khilaf, yang suatu hari membutuhkan maaf mu, membutuhkan akal sehat mu untuk membuat suatu ketetapan, dan membutuhkan keikhlasan mu untuk melanjutkan perjalanan.

Buat para lelaki…baca juga. Agar dapat menyelami isi hati seorang wanita, agar dapat menimbang dengan bijak setiap langkah yang akan dibuat, agar dapat memberikan yang terbaik untuk orang yang telah dipilih menjadi pendamping, dan agar dapat mengingatkan kalau kamu telah membuat sebuah keputusan besar yang sangat bertanggungjawab.

May I  say, “I’m proud to be a women, a happy single woman, a strong wife will be, and an amazing mom for my future children”? Dan jawabannya adalah YA, a BIG, SURE, and DEFINETELY YES!! Tidak Cuma untuk aku, tapi untuk setiap wanita. Coz we have the right…

-me-

Bunch of love for all women who read  this writing and the book, be strong!! Karena kita adalah the next strong person dalam rumahtangga. Kalau kita rapuh, maka akan ke mana kita bawa keluarga kita??

 

sumber : disini

 
Leave a comment

Posted by on June 14, 2011 in resensi buku

 

Tags: , , ,

Leave a comment