Mengubah Pasir menjadi Mutiara_mengelola kekecewaan dan kepahitan
Pada suatu petang yang sendu seekor anak kerang di dasar laut datang mengadu dan mengaduh kepada ibunya. Sebutir pasir tajam bagai sembilu memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
“Anakku”, kata sang ibu sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan kepada kita bangsa kerang ini sebuah tangan pun, sehingga ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku. Namun, terimalah itu sebagai takdir alam. Jadi, kuatkanlah hatimu, nak. Jangan lagi terlalu lincah. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu. Tegarkan jiwamu menanggung mhyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa engkau perbuat anakku,” bujuk ibunya dengan lembut namun pilu.
Si anak kerang pun mencoba nasihat bundanya. Ada hasilnya, namun perih pedih tak alang kepalang. Kadang kala, di tengah – tengah erang kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Namun, tak ada pilihan lain. Ia terus bertahan, dan dengan banyak air mata ia berusaha tegar, mengukuhkan hati, menguatkan jiwa, bertahun – tahun lamanya.
Tanpa disadarinya, sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Kian lama kian bulat. Rasa sakitpun semakin berkurang. Mutiara juga semakin menjadi. Kini, bahkan rasa sakitnya terasa biasa. Dan ketika masanya tiba, sebutir mutiara besar, utuh, dan mengkilap, akhirnya terbentuk sempurna.